Breaking News
Loading...

Episode Pagi di Awal Liburan

Kategori:
“Gusti Allah amat mengasihi kalian, Anakku. Sebab kasih-Nya kepada kalian, Dia tak membiarkan kalian bisaselalu dekat berduaan. Kebersamaan kalian kan bisa mendatangkan fitnah, godaan nafsu.” Mamakerap berkata begitu di telepon, menyemangatinya senantiasa dan mendoakannya tentu saja.
Dari Novel : Kapas-Kapas di Langit
Karya : Pipiet Senja

Tokyo, awal musim semi yang lembut dan hangat. Suara-suara keras dan kehebohan itu muncul dari lantai bawah tempat tinggalnya. Sebuah asrama putri di kawasan kampus Universitas Tokyo yang terkenal karena tradisi dan historisnya.

Ugh, apa yang terjadi? Rasanya baru beberapa menit aku tertidur. Hampir sepanjang malam ia berkutat di depan komputer dengan programnya. Perlahan gadis itu menggeliat malas, berharap dirinya hanya terpengaruh mimpi. Tapi ketika keributan di bawahnya bukan menghilang, sebaliknya bahkan terdengar semakin parah, pertanda sesuatu yang luar biasa tengah terjadi. Berarti bukan ilusi, bukan pengaruh mimpi. Yap!

Ia tersentak bangun dan melemparkan selimutnya dengan sebal. Sepasang matanya reflek melirik jam wekker di atas meja belajarnya. Baru pukul enam, biasanya saat begini para penghuninya masih bergulung dalam selimut tebalnya masing-masing. Dilihatnya ranjang di sebelahnya sudah kosong. Bahkan Haliza, dara Malaysia yang kutu buku itu pun sudah beraktivitas?

Gadis yang melintas di pikirannya tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Terdengar senandungnya yang merdu.Ia masih mengenakan jubah mandi dengan rambut terbalut handuk setelah keramas. Wajahnya segar dan berseriseri, pertanda ia merasakan kebahagiaan dan kenyamanan hatinya. Tanpa tekanan sama sekali!

“Mmh… segaar! Oyaho gozaimasu, Garsini-san,” ujarnya mengajakbercanda dalam nada riang tak dibuat-buat. Garsini mengucak-ucak matanya yang masih berat lalu memandanginya keheranan. Ya, heran dengan semangat dan gerak-geriknya yang tampak lebih lincah dari biasanya. Ia masih ingat saat pertama kali mereka bertemubeberapa bulan yang lalu di daigaku

Haliza, saudara seiman berbusana Muslimah seperti dirinya, tampak agak gelisah berdiri canggung di antara para gakusei baru. Mereka sedang diterima oleh panitia daigaku,khusus bagi para gakuseiasing penerima beasiswa pemerintah Jepang.

“Subhanallah!” seru dara jelita itu tertahan, kala Garsini menghampirinya dan langsung berusaha berkomunikasi dengannya. Sementara rombongan kecil itu mulai bergerak, dibimbing senior berkeliling sekitar fakultas, menunjukkan berbagai fasilitas yang dapat mereka manfaatkan.

“Namaku Siti Haliza binti Haji Tun Abdul Razak dari Selangor,” bisik Haliza kini dapat berjalan tegak disebelah Garsini,menjejeri para gakusei asing lainnya.

“Saya Garsini Siregar dari Depok, eeh… itu dekat Jakarta,” sahut Garsini. Haliza mengaku terus terang, tak mengira bisa secepat itu bertemu sesama Muslimah di Negeri Sakura. Dalam bilangan menit keduanya telah
akrab, perbedaan istilah antara bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia taklah menjadi masalah. Acapkali keduanya malah tertawa geli karenanya.

Sejak hari pertama berkenalan keduanya menjadi karib dan senantiasa saling mengingatkan, menguatkan dalam setiap kesempatan. Sering rekan-rekan sealmamater keheranan melihat kedekatankedua gadis berjilbab itu. Apa itu ukhuwah? Tentu saja para gakusei Jepang, juga mereka dari negara-negara non
islam itu tak pernah mengerti maknanya.

“Lekaslah shalat subuh tu!” sepasang alisnya yang indah terangkat. “Sudah, tadi tidur lagi,” Garsini masih memandanginya, semakin terheranheran. Haliza membuka balutan handuk, kemudian mengeringkan rambutnya yang panjang bergelombang dengan hairdryer. Ini baru mahkota wanita terindah yang pernah dilihat Garsini. Mengalahkan rambut para gadis shampo yang bertaburan di layar kaca Indonesia.

“Mau bepergian rupanya, hemm?” Garsini baru menyadari keberadaan ransel yang telah dikemas apik di sudut kamar mereka. Haliza masih asyik dengan kesibukan pengeringan rambutnya. Mahasiswi kedokteran yang mengaku takkan menikah dengan siapapun selain Mahathir Rashid itu kemudian menyahut.

“Famili di Yokohama, mengundangku libur di rumah peristirahatannya…”

“Libur panjang!” tukas Garsini menyentak, membuat Haliza menoleh ke arahnya. “Masya Allah, kok aku baru ingat ya?” Sesaat ia tampak bagai linglung. Sementara Haliza menatapnya dengan cemas dan bimbang.
***

Rasanya belum lama mereka memasuki aktivitas perkuliahan di Universitas Tokyo. Setelah sebelumnya pun ada hari-hari libur selama beberapa pekan. Ia sempat sangat jenuh tanpa kegiatan sebelum memulai perkuliahan itu.

Haekal yang ambil spesialisasi diUniversitas Waseda mengunjunginya dan memberinya alternatif, agar ia tinggal di minshuku. Yaitu penginapan milik keluarga. Sehingga ia bisa memanfaatkannya untuk belajar mengenal adat kebiasaan orang Jepang. Sekaligus pula melancarkan bahasa Jepangnya yang
memang amat parah.

Garsini tahu, Haekal juga melakukan hal yang serupa, tapi sengaja mengambil lokasi yang berbeda. Sehingga mereka tak bisa setiap saat bertemu, hanya berkomunikasi melalui telepon dan internet. Ternyata medium itulah yang kemudian menjadi alternatif komunikasi mereka di hari-hari selanjutnya. Dalam beberapa bulan ini mereka bertemubisa dihitung dengan jari.

“Aa Haekal mengambil spesialisasi haematologi. Dia akan mengawasimu selama di Negeri Sakura.” Selly, adik Haekal dulu berkata demikian. Tapi itu rasanya tak mungkin terwujudkan, sebab jadwal padat dan tekanan luar biasa yang harus mereka hadapi dalam keseharian. Sesuatu yang jauh dari perkiraan
mereka di masa lalu.

Sekarang Aa Haekal juga takkan sempat mampir kesini, gumam Garsini. Itulah agaknya yang terbaik bagi keduanya.

“Gusti Allah amat mengasihi kalian, Anakku. Sebab kasih-Nya kepada kalian, Dia tak membiarkan kalian bisaselalu dekat berduaan. Kebersamaan kalian kan bisa mendatangkan fitnah, godaan nafsu.” Mamakerap berkata begitu di telepon, menyemangatinya senantiasa dan mendoakannya tentu saja.

Tempo hari pemuda itu menelepon Garsini, memberi tahu tentang rencana libur panjangnya. “Aku dan beberapa rekan akan melakukan kerja bakti di pulau Pusan. Kami akan jihad di leprosium,” katanya riang seperti biasa.

“Di mana pulau Pusan dan apa itu leprosium?” tanya Garsini ingin tahu.

“Pulau Pusan wilayah Korea…”

“Korea… jadi Aa moke luar negeri?” Sayup nama Haekal terdengar sudah dipanggil-panggil oleh kelompok baksos-nya. Telepon pun memperdengarkan suara klik. Bagaimanarasanya menghabiskan liburan di
pulau yang dihuni oleh para penderita kusta, ya? Suara dokter muda itu terdengar begitu bersemangat. Berbahagialah dia yang selalu merasa terpanggil untuk bakti kemanusiaan.
***

Haliza mendadak berhenti, meletakkan alat pengering rambut di atas dipannya dan menghampiri Garsini. Dipandanginya wajah Muslimah Indonesia itu dengan cemas.

“Jangan katakan kau tak punya rencana bepergian… Pasti sudah punya rencana khusus, ya kan? Mau ke mana? Kyoto atau Saporo? Ooh, suasana kuil Budha di Nara musim semi begini…”

Apa Haliza lupa, kalau aku bukan anak orang berduit? Memang ada uang saku yang kuterima per bulannya, tapiitu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kelancaran perkuliahan.Sementara gaya hidup di Jepang sangat mahal!

“Tidak, aku tidak tahu mau ke mana!” pintas Garsini terdengar agak mengeluh dan balik menatapnya, kali ini disertai sedikit harapan. “Aku sama sekali tak punya rencana ke mana-mana…”

“Bagaimana kamu bisa…” Haliza terheran-heran menatapnya.

“Oh, Haliza bagaimana kalau… ajak aku, ya, please?” pintanya terdengar mengiba. Sungguh amat kontras dengan karakternya yang Srikandi!

Haliza terperangah dalam rasa bersalah. Garsini sesaat mengguncangguncang lengannya, masih menatapnya dalam harapan. Tapi manakala dilihatnya wajah cantik itu dikabuti rasa bersalah, sadarlah dirinya bahwa harapannya hanya akan menyulitkan Haliza. Perlahan dilepaskannya tangan gadis itu dan otaknya mulai sibuk menemukan gagasan.

Apa masih berlaku tawaran dari Nakajima-sansebagai relawan MeSci, museum sains itu, ya? Lelaki tua itu mengingatkan Garsini kepada mendiang kakeknya. Musim semi ini ia bermaksud mengunjungi keluarganyadi Saporo. Ia mencari relawan untuk menggantikannya, sementara dirinya bepergian ke luar
kota selama beberapa hari.

Mayumi-san, mahasiswi jurusan sastra yang menyampaikannya kepada Garsini. Sahabat Jepun-nya itu relawan musiman di museum sains terbesar di Jepang.

“Afwan, ya Garsini… Tentu mereka sudah merencanakan ini sejak lama. Tak mungkin kan kalau tiba-tiba…” Suara Haliza terdengar terpatah-patah, minta pengertiannya yang dalam.

“Tak apa, sudahlah… Jangan khawatir, Haliza,” tukas Garsini gegas merangkul bahunya dan memeluknya erat. Ia kemudian bangkit dan berusaha mengubah kemuraman wajahnya. Berjalan menghampiri ransel berukuran sedang yang sudah siap menunggu pemiliknyamembawanya kembara itu, ia bertanya keheranan.

“Hanya ini bawaanmu, hm…?”

“Mereka beramanat agar aku tak banyak bawaan. Semuanya sudah disediakan, kata Mak Tuo tu… Ngng, masih famili Abang Rashid,” jelas dara Malaysia itu dengan wajah memerah. Garsini tersenyum paham. Ia tentu saja tak ingin mengganggu sebuah keluarga yang hendak mempererat tali silaturakhim. Mereka keluarga calon suami Haliza dan khusus mengundangnya. Tentu bukan sekadar undangan biasa. Ada maksud lebih jauh di luarsekadar menampung seorang mahasiswi yang ingin menikmati libur panjang.

“Sungguh kau tak apa-apa?” Haliza telah siap berangkat. Masih diliputi perasaan bersalah, tapi iapun tak mungkin membuyarkan rencananya. Garsini telah menyegarkan diri, tampaknya siap pula hendak bepergian.

Wajahnya berseri-seri dan sarat percaya diri sepertibiasa. Ia menggelengkan kepalanya. ”Aku baru ingat, sepupuku dari Holland akan libur di Tokyo. Sebaiknya aku jalan saja, melihat-lihat hotel yang pantas untuknya.”

Dalihnya tak dibuatbuat, itu memang benar dan ia baru mengingatnya lagi kini. Keduanya meninggalkan kamar, jalan bergandengan menyusuri koridor yang telah lengang. Setelah beberapa saat lalu para gakuseiyang kebelet menikmati liburan musim semi, bertemperasan hampir secara serempak. Ditunggu oleh taksi-taksi yang telah mereka panggil, dan secara serempak pula mengklakson mereka tanpa ampun, hingga seolah balik menteror.

Mungkin karena sepagi itu mereka telah dipanggil. Padahal saat awal libur musim semi begini nikmatnya berkumpul bersama anak dan istri di rumah, atau merencanakan wisata ke tempat rekreasi yang sejak lama diidamkan.
***

Garsini tahu, pria dan wanita Jepang lebih suka menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Fenomena work-cholicdari saat ke saat kian merata, menyerbu seluruh lapisan masyarakat dan usia bangsa ini. Ada beberapa pengalaman mulai dari yang lucu, aneh dan geli mengenai hal ini, dialami Garsini selama mukim di Jepang.

Suatu hari Garsini melihat seorang nenek renta tengah sibuk mengumpulkan sampah di pelataran eki,stasion kereta. Ia tengah jalan bareng rekan-rekan kuliahnya dari berbagai bangsa,sebagian besar telah lama mukim di sini. Jadi, ia paling yunior di antara lima gadis dan tiga pemuda yang baru jalan-jalan di Shinjuku. Bermaksud balik ke Chofu dengan keiosen,kereta.

“What the matter with you, Miss Garusiniii…?” ledek Clarissa, gadis Austria ikut merandek demi melihat Garsini menghentikan langkahnya. Miss Garusini, demikian rekan-rekan Jepun kadang menyebutnya.
Garsini tertegun-tegun memperhatikan Abaasan, nenek renta yang tengah mengumpulkan sampah. Ada karung besarteronggok tak jauh dari sang nenek. Sementara ia begitu seksama dan cermat memperhatikan suasana sekitarnya.

Sang Pembersih, pikir Garsini sambil mengagumi gerak-geriknya yang amat cekatan dan terampil. Dalam bilangan menit, ia telah memunguti lusinan bekas softdrinkdi sekitarnya. Mana ada pemandangan macam ini bisa ditemuinya di Jakarta atau Depok. Coba bayangkan, orang Jepang yang terkenal sebagai turis pelit di kawasan wisata Indonesia. Para pengusaha elektronik, para eksekutif arogan di Jakarta. Menghuni apartemen canggih yang harga sewa per bulannya ribuan dolar, berseliweran dengan mobil-mobil mutakhir keluaran pabrik negerinya… Menuju gedung-gedung pencakar langit, tempatnya bekerja!

“Garsini, jangan norak dong, malu-maluin bangsa Indonesia aja!”Tasya si Manado dari kejauhan memperingatkan Garsini.“Baru lihat orang Jepang kerja, ya? Ups, tukang sampah nich yeee…!” cemoohnya dan bibirnya yang sensual manyun.

Gadis ini hanya selang satu semester tingkatannya dari Garsini. Tapi, ia sering merasa dirinya paling tahu, bahkan melebihi para seniornya. Sementara kala itu, Garsini untuk ke sekian kalinya jalan bareng rekan-rekannya. Baru satudua kali jalan seorang diri.

“Ssst, hati-hati kalau ngomong.Ini di negeri mereka,”bisik Garsini ketika akhirnya Tasya jadi tertarik, balik menghampirinya dan menjejerinya. Clarissa sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran kedua gadis
Indonesia itu. Diam-diam ia kembali gabung dengan rekan-rekannya, melanjutkan perjalanan. Sementara Abaasansemakin sibuk memunguti sampah, bekas minuman dan kotak makanan. Karung diatas troli yang dijadikannya tong sampah itu isinya sudah padat, tapi terus juga dipenuhinyadengan sampah yang
berhasil dipungutinya.

“Kasihan juga, ya…?” bisik Tasya menatap iba ke arah Abaasan yang kini kelihatan susah payah mendorong trolinya. Tapi ia sama sekali tak berniat turun tangan kecuali ada hal darurat yang bisa merubah keputusannya.

“Kita bantu, biar kerjaannya cepat selesai?” cetus Garsini merasa tak tahan lagi.

“Ngng…” Tasya menyadari mereka sudah tertinggal jauh dari rombongannya. Bagaimana kalau kesasar, berdua Garsini si pendatang di tempat asing begini? Memang sihia lebih dulu mukim diNegeri Sakura. Namun, ia tak punya nyali untuk jalan seorang diri, selalu jalan bareng rombongan. Tasya sungguh kaget saat diketahuinya kemudian Garsini sudah berani jalan seorang diri. Bagaimana mungkin dirinya yang lebih senior bisa dilangkahi si anak bawang, pikirnya terheran-heran.

Ketika Tasya mempertanyakannya, apakah Garsini tidak merasa takut jalan sendirian di negeri asing? Garsini hanya tersenyum manis, bila terus didesaknya barulah ia memberi jawaban yang ajaib di telinga Tasya.

“Kenapa mesti takut? Karena ada Allah Sang Maha Penunjuk, Dialah yang senantiasa mengarahkan kaki-kakiku ini hingga tak nyasar…” Ugh, dia kira aku tak punya Allah, pikir Tasya. Tapi Bapa dan anak Allahku itu sudah lama tak pernah kutengok di gereja. Mungkin sejak keluarganya pindah dari Manado ke Jakarta. Sejak Mami cerai dengan Papi, anak-anak kemudian bertemperasan dititipkan ke sanak famili di pelosok Tanah Air. Lindungi kami, anak-anak korban perceraian ortu, Bapa!

Garsini telah melesat ikut turun tangan, menjejeri nenek tua itu mendorong trolinya. Tasya tak berhasil menemukan rombongannya lagi, jadi terpaksa mengikuti jejak Garsini.Mereka pun asyik membantu sang Abaasan. Sesekali berhenti, memunguti sampah yang sesungguhnya hanya satu-dua saja tampak di sekitar mereka.

“Ahaaa… asyik juga bisa bantu orang Jepun itu, ya? Tanpa pamrih begini, ada pahalanya, iya kan?” Tasya terengah-engah saat menghambur ke dalam keiosen, kereta dari Shinjuku ke Chofu.

Garsini hanya tersenyum lega, bisa bergabung lagi dengan rombongannya dalam satu gerbong, setelah hampir setengah jam membantu Abaasandi pelataran eki.Rekan-rekannya hanya senyum-senyum kecil melihat kelakuan kedua gadis belia itu, usia mereka masih tergolong teeneger, di bawah duapuluh.

“Lihat, mereka mengucapkan terimakasih kepada kalian,” Clarissa nyeletuk sambil menuding-nuding keluar jendela. Garsini melongokkan kepalanya melalui jendela kacadi sampingnya. Tampaklah Abaasandan
beberapa kakek yang tahu-tahu sudah bergabung dengan mereka, memunguti sampah itu. Kini barisan lansia itu tersenyum senang dan melambai-lambaikan tangan ke arah dirinya dan Tasya.

“Sayonara, ja mata…!” seru mereka bak dikomando saja.

“Apa katanya?” tanya Garsini bingung. Mulai mencium keanehan.

“Selamat tinggal, sampai jumpa lagi…”jawab Maria Linares, gadis Manila.

“Lain kali kalian harus lebih rajin mengumpulkan sampah bersama mereka, ya?” sahut Clarisa sambil ngakak.

Geeerrr… rekan-rekan lainnya seketika tertawa terbahak-bahak.

Sepanjang sisa perjalanan itu, Tasya lebih banyak bersungut-sungut menyesali kelakuan mereka. Sementara Garsini hanya mesem-mesemtulus. Ia baru tahu, ada kebiasaan para lansia Jepang melakukan bakti sosial, antara lain memunguti sampah pada hari libur atau saat-saat tertentu. Jadi, Abaasanitu bukan tukang sampahlah, bo!
***

Kehebohan luar biasa itulah yang telah membangunkan Garsini dari tidurnya di pagi buta. Sekarang asrama putri ini terasalengang, senyap. Mungkin tinggal mereka berdua yang belum angkat kaki dari tempat ini. Setidaknya dari lantai dua, tempat tinggal sekitar seratus mahasiswa asing dari berbagai warganegara.

“Sepupumu, ya?” Haliza melirik gadis itu, ingin tahu. Ada kebekuan mengapung di tengah mereka. Garsini tak menyukainya. Ia cepat ingin mengubah suasana hati mereka kembali. Dalam keriangan, semangat dan keikhlasan seperti biasanya mereka rasakan selama ini.

“Iya, Peter, putra Tante Arnie yang mukim di Holland. Rasanya aku pernah mengungkitnya kepadamu…Dia pernah berencana melanjutkan studi di Jepang. Tapi entah mengapa urung. Ee, tahu-tahu kabarnya dia kini telah menjadi seorang tentara Kerajaan Belanda,” katanya riang dan tulus.

Haliza tersenyum lega mendengar keriangan suara sohibnya. “Baiklah, hati-hatilah dengansepupumu itu,” bisik gadis Malaysia itu saat akan berpisah di teras asrama. Semangatdan keriangan telah kembali mewarnai
wajahnya.

Sebuah taksi telah menantikan Haliza.Hanya pada kesempatan istimewa saja para gakusei memanggil taksi, mengingat tarifnya tinggi. Takkan terjangkau oleh uang saku yang mereka peroleh dari pemerintah Jepang melalui beasiswa.

Hari ini memang pengecualian. Merekaberhak bersenang-senang setelah menjalani jadwal aktivitas yang begitu padat, sarat tekanan luar biasa. Hanya kawula muda pilihan saja yang sanggup menjalani hari-hari “neraka” macam itu.

“Kaulah yang mesti hati-hati dengan keluarga Raja di Raja Malaysia tu, Haliza,” balas Garsini dan ia sungguh mulai mencemaskan hasil kunjungan sahabatnya kelak. Ia tak ingin melihat sohibtercinta terluka. “Dan kuharap kau takkan… mmh, seandainya nanti…”

“Yeah… tolong restui aku, ya, Garsini?” tukas Haliza terdengar menghiba. Keduanya berangkulan dan berpelukan erat. Seolah mereka takkan pernah bersua kembali.

“Lekaslah masuk!” Garsini mendorongnya masuk taksi dan melemparkan ranselnya ke jok belakang.

“Assalamualaikum,” ujar gadis Malaysia itu tertawa.

“Waalaikumussalam,” balas Garsini. Sebuah salam yang kerap keduanya perdengarkan kala bertemu atau berpisah, dan membuat rekan mereka sering keheranan atau hanya tersenyum maklum.
***

http://ppnitoar.blogspot.com/2014/10/episode-pagi-di-awal-liburan.html

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer