Umar bin Khatab, sang khalifah kedua, sering berujar pada dirinya, saat –saat ia sewaktu menjabat khalifah kaum muslimin dan berjalan jalan di sisi sisi kota madinah, “Aah…, andai aku menjadi tanah !”.
Ucapan itu direkam melalui tutur hening Muhammad saw, dalam Al Qur’an, di surat An-Naba , “ yaa laitani kuntu turooba ?”, ah andai dulu aku adalah tanah. Itulah ucapan orang orang kafir, saat ia menemukan bahwa azab Allah sudah di depan mata.
Tapi, dalam semesta para pejalan dikeheningan, ucapan itu, telah menjadi kredo para pejalan ruhani yang ingin mencari Nya, ingin bertemu dengan Nya, seperti ucapan Umar ra diatas. Apakah anda pernah mengucapkannya ?
Para sahabat nabi saw, dikabarkan betapa amat seringnya mereka mengucapkan kata kata itu sembari melemparkan debu ke wajahnya dan kepalanya saat mereka ber-intim-intiman dengan TuhanNya. Makna tanah atau debu disini, bukanlah suatu maksud bahwa kita harus berkotor-kotoran ria, bukan, bukan seperti itu. Tidak lain maknanya adalah bahwa kesadaran kita harus sampai pada suatu kondisi kerendahan hati atau “bukan apa-apa”.
Islam adalah satu agama yang mengajak kita untuk berkomunikasi sebagai debu ini. Dalam sujud sujud sehari hari kita, sebenarnya ada sunnah nabi yang kita tinggalkan, yaitu sujud di atas debu atau tanah kering. Sujud di atas tanah kering ini hakikatnya adalah bahwa kita harus selalu ingat akan filosofi kerendahan hati itu.
Di dunia globalisasi saat ini, dalam keluasan dunia materi yang kita rasakan amat penat, maka filosofi yang selalu ditawarkan adalah filosofi “menjadi”. Anda harus jadi apa, saya harus menjadi sesuatu, segalanya harus “menjadi”. Dan bila anda tidak bisa “menjadi”, maka lingkungan seolah olah akan menghukum kita , merendahkan kita. Itulah mengapa eksistensi diri di zaman ini, begitu penting bahkan amat penting. Seorang koruptor kelas kakap sekalipun tak akan pernah malu untuk membuat suatu eksistensi bagi dirinya. Disinilah semua orang “ingin disebut”, “ingin di kenal”. Menjadi ingin terkenal adalah betapa biasanya.
Berbondong bondong sekarang orang orang untuk pergi ke perhelatan audisi, audisi apapun yang mana audisi itu tentunya akan membuat mereka menjadi terkenal. Gaya hidup kita adalah gaya hidup selebritis. Di dalam gaya hidup ini, yang ingin bereksistensi itu bukan lagi hanya nama diri, bahkan segala yang melekat pada diri ini pun ingin dikenal, ingin terkenal pula. “ini sandal si anu”, “ini baju si anu”, “ini tulisan si anu”.
Ketika saya dulu masuk kuliah, ada spanduk berucap di gerbang kampus yang dipenuhi bunga kertas merah jambu, “selamat datang putra putri terbaik bangsa”. Dalam spanduk itu, ada suatu eksistensi yang dilekatkan pada kami yaitu putra putri terbaik bangsa. Spanduk itu sih benar benar saja mungkin, hanya menjaga menjadi sebagai putra putri terbaik bangsa ini, ouwh..betapa sulitnya. Bukan hanya itu, yang lebih parah, kata kata itu membuat telinga kami naik hingga 2 cm, dan membuat kita gagah, lebih gagah dalam kesombongan.
Kalau anda sering masuk dunia pelatihan pun, kondisi seperti ini sering ditemukan. Mungkin pelatih tidak salah, ia menginginkan kita agar kita memiliki eksistensi diri, yaitu sebuah eksistensi diri yang baik. Akan tetapi terkadang, filosofi “menjadi” dalam suatu pelatihan kadang begitu melekat, melampaui eksistensi diri itu sendiri. Saya pernah masuk menawarkan suatu pelatihan kepada seseorang. Setelah saya bercerita sedemikian rupa tentang pelatihan saya, orang itu menjawab begini kira kira ,”kami sudah “xxx” mas, kami tidak butuh lagi pelatihan ini !”.
kalau apa yang ditawarkan oleh saya itu ditolak, itu tidak menjadi masalah. Itu resiko biasa dalam dunia marketing. Tetapi sebuah embel embel “kami sudah xxx” itu loh. Itu merupakan sebuah eksistensi baru. Oh ya, xxx itu bisa nama pelatihan khususnya, atau bisa gelar khususnya atau nama alumni khususnya. Betapa banyakkan sekarang ini, pelatihan yang menawarkan gelar “instan” untuk eksistensi diri dunia baru ?
Ketika iblis diminta bersujud kepada adam, iblis bilang kepada Tuhan, “ Aku ini dari api, sedang dia dari Tanah !”. walhasil iblis tak mau bersujud. Semua paham bahwa iblis dan Adam adalah mahluk Tuhan, ciptaan Tuhan. Apapun ciptaan Tuhan itu sebenarnya ya sama saja. Ciptaan Tuhan tetaplah yang dicipta. Mau dia jadi bunga atau jadi akar, mau dia jadi kembang mawar yang cantik atau bunga tahi ayam, semua tetaplah ciptaan Tuhan. “Tak ada yang sia sia (dalam penciptaan)”, begitu menurut Al Qur’an.
Tetapi, ketika iblis, meng-eksistensi- dirinya , “aku ini dari api”, iblis merasa lebih mulia, sehingga ia tak mau diperintah Tuhan.
Dalam penciptaan adam, iblis hanya melihat lempung. Begitu kata kata Jalaludin Rumi. Dalam sms hikmah yang saya kirimkan kepada komunitas hening rumah hati, sering ada pertanyaan balik, mengenai apa maksud dari kata kata tersebut.
Sebenarnya Rumi, dalam kata kata di atas sedang menyindir kita. Iblis memang ahli ibadah, sudah ribuan tahun sebelum dicipta , ia beribadah sangat disiplin kepada Tuhan. Tapi iblis adalah mahluk yang picik, mahluk yang tidak luas pandangannya. Ia hanya melihat adam sebagai lempung atau tanah saja. Ia tak bisa melihat, bahwa tanah, lempung itulah yang membuat kebun kebun mawar tumbuh. Bahkan al Jannah, Jannah itu artinya taman, atau kebun, pastilah dibangun di atas tanah. Jadi kalau anda ingin menjadi kan diri anda Jannah atau surga, pesannya adalah, janganlah sombong, luaskan pandangan, rendah hatilah, jangan merasa benar sendiri, insyaAllah anda akan menjadi Al Jannah.
Bom bunuh diri yang terjadi di Cirebon ataupun Gereja di solo itu pun, menurut saya terjadi karena filosofi “menjadi “ ini. Jangan salah, embel-embel ISLAM terkadang menjadi sebuah eksistensi “kegilaan” baru. “Aku ISLAM, Aku penguasa surga”, begitulah kira kira, sehingga sesuatu yang dianggap diluar islam tidak berhak mendapat tempatnya. Harus dihancurkan, harus dibasmi. Semua menjadi kafir dan salah. Disini kita lupa, kadang lucu, islam sendiri sebenarnya berarti dari arti kata As-salam salah satunya. Sebuah Nama atau Sifat Allah, yang Maha Damai. Jadi kalau anda islam, seharusnya anda adalah orang yang damai.
Mukmin itu berasal dari Al Mu’min, adalah sifat Allah yang berarti Yang Maha Meng-aman-kan. Jadi kalau anda Mukmin, harus nya anda aman untuk orang lain, aman untuk lingkungan atau aman untuk segala sesuatu. Menjadi seorang muslim atau mukmin harusnya menjadi damai dan menjadi aman, bukannya menjadi sesuatu monster yang senang meneror orang lain dengan kebencian atau dengan bom sekalipun.
“aah, andai aku menjadi tanah…”, “andai aku menjadi ..debu “,
Jadi menjadi tanah atau debu itu betapa indahnya. Debu itu kecil, ringan.
Suatu hari, Salman Al Farisi, sahabat nabi saw, menjabat sebagai gubernur di Madain. Siang hari yang panas ia berjalan jalan di tengah kota. Di suatu persimpangan jalan ia melihat ada seorang ibu tua sedang mengangkut barang yang amat berart. Tanpa pikir pikir panjang, Salman ra, mengejar sang ibu dan membantunya.
Selama perjalan dengan si ibu, ibu itu berbicara mengeluh sana sini. Mengeluh tentang ekonomi warga yang kurang bahkan tentang Gubernur sekarang yang tidak memperhatikan wargannya. Salman ra mendengar saja dengan antusias. Setelah sampai pada tempatnya Salman ra mengantar, maka iapun berlalu.
Keluhan si ibu itu, terus saja berlangsung diumbarkan kepada warga disekitarnya. Untung saja katanya ada seorang Tua yang membantunya membawa barang. Seorang warga yang melihat, kemudian ikutan nimbrung , “tahukah ibu siapa yang membawa barang ibu tadi ?”. “Tidak tahu”, kata si ibu. “Dia lah Salman, gubernur kita”, kata tetangganya itu. Si ibu hanya bisa melongo terkejut.
Filosofi Salman adalah filosofi debu. Prinsip para pejalan ruhani, pejalan keheningan dalam kehidupan adalah “berbuat kebaikan”. Berbuat baik ya berbuat baik. Tapi tak penting bagi mereka apakah mereka akan di kenal atau tak dikenal. Mereka berlalu begitu saja, bagai debu, ringan, dan beredar disemesta jauh. Tak penting eksistensi “menjadi” itu.
Lihatlah peri hidup Rasulullah saw, begitu indahnya. Di Madinah, waktu itu kalau ada orang yang mencari Rasulullah saw, pasti akan bingung. Karena tak ada tempat untuk beliau, tak ada perkumpulan atau nama.. Beliau saw, hanya mengatakan , “carilah aku ditempat orang – orang kecil”, atau “carilah aku di tempat orang orang yang patah hatinya”.
Doa Rasulullah saw pun cukup indah, berkenaan dengan filosofi debu ini. “ ya Allah, kumpulkan aku bersama mereka yang fakir”.
Mungkin doa ini adalah doa yang paling tidak sering diamalkan oleh umatnya saat ini. Siapa yang berani menjadi fakir, menjadi orang orang yang berdebu seperti para fakir itu ? Al fakir itu, adalah ciri debu. Tak punya apa apa, bukan apa apa. (bukankah semua orang ingin menjadi kaya ? )
Ketika sang Nabi berkata, “Akulah kota ilmu dan ini, Ali pintunya”
.........
Seorang yang berilmu
Adalah debu yang hinggap di pintu kota ilmu
Debu kota ilmu haruslah
Seperti ilmu padi semakin berisi semakin merunduk
Senantiasa memberi hormat kepada angin yang menerbangkan serbuknya,
Kepada petani yang memupukinya
Ia haruslah memiliki hati yang seluas samudra
Meskipun sudah luas, ia selalu menerima saja air baru dari sungai manapun
Terkadang ia adalah mentari
Yang tidak kenal lelah untuk menyinari
Menyampaikan salam hangat semesta
Senantiasa membawa kita pada edaran-edaran baru jagat
Bahkan ia, hanya setetes air
Dijari sang Nabi yang ditumpahkan ke alunan ombak
Ia laksana buah
Bila sudah saat nya masak dan jatuh
Ia kan jatuh ke bawah
Debu debu di pintu kota Ilmu
Lebih menggunakan telinganya, matanya
Daripada mulutnya
Untuk mendengar siapa saja dan apa saja
Lalu meneliti dengan hati-hati
Mana yang pantas
Diam adalah kebijakannya
Ketenangannnya melampaui langit
Cita-citanya sederhana
Tapi perhatiannya terhadap sesuatu
Bagaikan paruh camar yang cepat mencuri ikan
Kata-katanya adalah ketenangan
Ajakannya adalah ketakjuban
Dan dalam rengkuhan wajahnya
Terhias anggun senyuman sang Nabi…
Dan yang lebih indah dari orang orang yang ingin menjadi debu ini adalah, doa Imam Ali bin Husein as , cicit Nabi saw, yang bergelar as sajad, orang yang banyak bersujud pd debu
ya Allah,
bila Engkau tempatkan aku di dalam neraka,
maka aku akan bilang kepada penghuninya,
bahwa Aku mencintai Mu….
Mereka yang ingin menjadi debu, akan berserah sempurna pada Nya. Menerima segala kehendak Nya, dan tetap mencintai Nya. Karena pilihanNya adalah pilihan Terbaik. Jadi, benarlah arti islam yang sebenarnya,ia adalah menjadi debu, menjadi berserah sempurna pd Nya.
Dan hanya Allah lah yang Maha Tahu. Allohumma Shalli ala Muhammad wa ali Muhammad.
Sumber : hening.rumahhati@facebook
Ucapan itu direkam melalui tutur hening Muhammad saw, dalam Al Qur’an, di surat An-Naba , “ yaa laitani kuntu turooba ?”, ah andai dulu aku adalah tanah. Itulah ucapan orang orang kafir, saat ia menemukan bahwa azab Allah sudah di depan mata.
Tapi, dalam semesta para pejalan dikeheningan, ucapan itu, telah menjadi kredo para pejalan ruhani yang ingin mencari Nya, ingin bertemu dengan Nya, seperti ucapan Umar ra diatas. Apakah anda pernah mengucapkannya ?
Para sahabat nabi saw, dikabarkan betapa amat seringnya mereka mengucapkan kata kata itu sembari melemparkan debu ke wajahnya dan kepalanya saat mereka ber-intim-intiman dengan TuhanNya. Makna tanah atau debu disini, bukanlah suatu maksud bahwa kita harus berkotor-kotoran ria, bukan, bukan seperti itu. Tidak lain maknanya adalah bahwa kesadaran kita harus sampai pada suatu kondisi kerendahan hati atau “bukan apa-apa”.
Islam adalah satu agama yang mengajak kita untuk berkomunikasi sebagai debu ini. Dalam sujud sujud sehari hari kita, sebenarnya ada sunnah nabi yang kita tinggalkan, yaitu sujud di atas debu atau tanah kering. Sujud di atas tanah kering ini hakikatnya adalah bahwa kita harus selalu ingat akan filosofi kerendahan hati itu.
Di dunia globalisasi saat ini, dalam keluasan dunia materi yang kita rasakan amat penat, maka filosofi yang selalu ditawarkan adalah filosofi “menjadi”. Anda harus jadi apa, saya harus menjadi sesuatu, segalanya harus “menjadi”. Dan bila anda tidak bisa “menjadi”, maka lingkungan seolah olah akan menghukum kita , merendahkan kita. Itulah mengapa eksistensi diri di zaman ini, begitu penting bahkan amat penting. Seorang koruptor kelas kakap sekalipun tak akan pernah malu untuk membuat suatu eksistensi bagi dirinya. Disinilah semua orang “ingin disebut”, “ingin di kenal”. Menjadi ingin terkenal adalah betapa biasanya.
Berbondong bondong sekarang orang orang untuk pergi ke perhelatan audisi, audisi apapun yang mana audisi itu tentunya akan membuat mereka menjadi terkenal. Gaya hidup kita adalah gaya hidup selebritis. Di dalam gaya hidup ini, yang ingin bereksistensi itu bukan lagi hanya nama diri, bahkan segala yang melekat pada diri ini pun ingin dikenal, ingin terkenal pula. “ini sandal si anu”, “ini baju si anu”, “ini tulisan si anu”.
Ketika saya dulu masuk kuliah, ada spanduk berucap di gerbang kampus yang dipenuhi bunga kertas merah jambu, “selamat datang putra putri terbaik bangsa”. Dalam spanduk itu, ada suatu eksistensi yang dilekatkan pada kami yaitu putra putri terbaik bangsa. Spanduk itu sih benar benar saja mungkin, hanya menjaga menjadi sebagai putra putri terbaik bangsa ini, ouwh..betapa sulitnya. Bukan hanya itu, yang lebih parah, kata kata itu membuat telinga kami naik hingga 2 cm, dan membuat kita gagah, lebih gagah dalam kesombongan.
Kalau anda sering masuk dunia pelatihan pun, kondisi seperti ini sering ditemukan. Mungkin pelatih tidak salah, ia menginginkan kita agar kita memiliki eksistensi diri, yaitu sebuah eksistensi diri yang baik. Akan tetapi terkadang, filosofi “menjadi” dalam suatu pelatihan kadang begitu melekat, melampaui eksistensi diri itu sendiri. Saya pernah masuk menawarkan suatu pelatihan kepada seseorang. Setelah saya bercerita sedemikian rupa tentang pelatihan saya, orang itu menjawab begini kira kira ,”kami sudah “xxx” mas, kami tidak butuh lagi pelatihan ini !”.
kalau apa yang ditawarkan oleh saya itu ditolak, itu tidak menjadi masalah. Itu resiko biasa dalam dunia marketing. Tetapi sebuah embel embel “kami sudah xxx” itu loh. Itu merupakan sebuah eksistensi baru. Oh ya, xxx itu bisa nama pelatihan khususnya, atau bisa gelar khususnya atau nama alumni khususnya. Betapa banyakkan sekarang ini, pelatihan yang menawarkan gelar “instan” untuk eksistensi diri dunia baru ?
Ketika iblis diminta bersujud kepada adam, iblis bilang kepada Tuhan, “ Aku ini dari api, sedang dia dari Tanah !”. walhasil iblis tak mau bersujud. Semua paham bahwa iblis dan Adam adalah mahluk Tuhan, ciptaan Tuhan. Apapun ciptaan Tuhan itu sebenarnya ya sama saja. Ciptaan Tuhan tetaplah yang dicipta. Mau dia jadi bunga atau jadi akar, mau dia jadi kembang mawar yang cantik atau bunga tahi ayam, semua tetaplah ciptaan Tuhan. “Tak ada yang sia sia (dalam penciptaan)”, begitu menurut Al Qur’an.
Tetapi, ketika iblis, meng-eksistensi- dirinya , “aku ini dari api”, iblis merasa lebih mulia, sehingga ia tak mau diperintah Tuhan.
Dalam penciptaan adam, iblis hanya melihat lempung. Begitu kata kata Jalaludin Rumi. Dalam sms hikmah yang saya kirimkan kepada komunitas hening rumah hati, sering ada pertanyaan balik, mengenai apa maksud dari kata kata tersebut.
Sebenarnya Rumi, dalam kata kata di atas sedang menyindir kita. Iblis memang ahli ibadah, sudah ribuan tahun sebelum dicipta , ia beribadah sangat disiplin kepada Tuhan. Tapi iblis adalah mahluk yang picik, mahluk yang tidak luas pandangannya. Ia hanya melihat adam sebagai lempung atau tanah saja. Ia tak bisa melihat, bahwa tanah, lempung itulah yang membuat kebun kebun mawar tumbuh. Bahkan al Jannah, Jannah itu artinya taman, atau kebun, pastilah dibangun di atas tanah. Jadi kalau anda ingin menjadi kan diri anda Jannah atau surga, pesannya adalah, janganlah sombong, luaskan pandangan, rendah hatilah, jangan merasa benar sendiri, insyaAllah anda akan menjadi Al Jannah.
Bom bunuh diri yang terjadi di Cirebon ataupun Gereja di solo itu pun, menurut saya terjadi karena filosofi “menjadi “ ini. Jangan salah, embel-embel ISLAM terkadang menjadi sebuah eksistensi “kegilaan” baru. “Aku ISLAM, Aku penguasa surga”, begitulah kira kira, sehingga sesuatu yang dianggap diluar islam tidak berhak mendapat tempatnya. Harus dihancurkan, harus dibasmi. Semua menjadi kafir dan salah. Disini kita lupa, kadang lucu, islam sendiri sebenarnya berarti dari arti kata As-salam salah satunya. Sebuah Nama atau Sifat Allah, yang Maha Damai. Jadi kalau anda islam, seharusnya anda adalah orang yang damai.
Mukmin itu berasal dari Al Mu’min, adalah sifat Allah yang berarti Yang Maha Meng-aman-kan. Jadi kalau anda Mukmin, harus nya anda aman untuk orang lain, aman untuk lingkungan atau aman untuk segala sesuatu. Menjadi seorang muslim atau mukmin harusnya menjadi damai dan menjadi aman, bukannya menjadi sesuatu monster yang senang meneror orang lain dengan kebencian atau dengan bom sekalipun.
“aah, andai aku menjadi tanah…”, “andai aku menjadi ..debu “,
Jadi menjadi tanah atau debu itu betapa indahnya. Debu itu kecil, ringan.
Suatu hari, Salman Al Farisi, sahabat nabi saw, menjabat sebagai gubernur di Madain. Siang hari yang panas ia berjalan jalan di tengah kota. Di suatu persimpangan jalan ia melihat ada seorang ibu tua sedang mengangkut barang yang amat berart. Tanpa pikir pikir panjang, Salman ra, mengejar sang ibu dan membantunya.
Selama perjalan dengan si ibu, ibu itu berbicara mengeluh sana sini. Mengeluh tentang ekonomi warga yang kurang bahkan tentang Gubernur sekarang yang tidak memperhatikan wargannya. Salman ra mendengar saja dengan antusias. Setelah sampai pada tempatnya Salman ra mengantar, maka iapun berlalu.
Keluhan si ibu itu, terus saja berlangsung diumbarkan kepada warga disekitarnya. Untung saja katanya ada seorang Tua yang membantunya membawa barang. Seorang warga yang melihat, kemudian ikutan nimbrung , “tahukah ibu siapa yang membawa barang ibu tadi ?”. “Tidak tahu”, kata si ibu. “Dia lah Salman, gubernur kita”, kata tetangganya itu. Si ibu hanya bisa melongo terkejut.
Filosofi Salman adalah filosofi debu. Prinsip para pejalan ruhani, pejalan keheningan dalam kehidupan adalah “berbuat kebaikan”. Berbuat baik ya berbuat baik. Tapi tak penting bagi mereka apakah mereka akan di kenal atau tak dikenal. Mereka berlalu begitu saja, bagai debu, ringan, dan beredar disemesta jauh. Tak penting eksistensi “menjadi” itu.
Lihatlah peri hidup Rasulullah saw, begitu indahnya. Di Madinah, waktu itu kalau ada orang yang mencari Rasulullah saw, pasti akan bingung. Karena tak ada tempat untuk beliau, tak ada perkumpulan atau nama.. Beliau saw, hanya mengatakan , “carilah aku ditempat orang – orang kecil”, atau “carilah aku di tempat orang orang yang patah hatinya”.
Doa Rasulullah saw pun cukup indah, berkenaan dengan filosofi debu ini. “ ya Allah, kumpulkan aku bersama mereka yang fakir”.
Mungkin doa ini adalah doa yang paling tidak sering diamalkan oleh umatnya saat ini. Siapa yang berani menjadi fakir, menjadi orang orang yang berdebu seperti para fakir itu ? Al fakir itu, adalah ciri debu. Tak punya apa apa, bukan apa apa. (bukankah semua orang ingin menjadi kaya ? )
Ketika sang Nabi berkata, “Akulah kota ilmu dan ini, Ali pintunya”
.........
Seorang yang berilmu
Adalah debu yang hinggap di pintu kota ilmu
Debu kota ilmu haruslah
Seperti ilmu padi semakin berisi semakin merunduk
Senantiasa memberi hormat kepada angin yang menerbangkan serbuknya,
Kepada petani yang memupukinya
Ia haruslah memiliki hati yang seluas samudra
Meskipun sudah luas, ia selalu menerima saja air baru dari sungai manapun
Terkadang ia adalah mentari
Yang tidak kenal lelah untuk menyinari
Menyampaikan salam hangat semesta
Senantiasa membawa kita pada edaran-edaran baru jagat
Bahkan ia, hanya setetes air
Dijari sang Nabi yang ditumpahkan ke alunan ombak
Ia laksana buah
Bila sudah saat nya masak dan jatuh
Ia kan jatuh ke bawah
Debu debu di pintu kota Ilmu
Lebih menggunakan telinganya, matanya
Daripada mulutnya
Untuk mendengar siapa saja dan apa saja
Lalu meneliti dengan hati-hati
Mana yang pantas
Diam adalah kebijakannya
Ketenangannnya melampaui langit
Cita-citanya sederhana
Tapi perhatiannya terhadap sesuatu
Bagaikan paruh camar yang cepat mencuri ikan
Kata-katanya adalah ketenangan
Ajakannya adalah ketakjuban
Dan dalam rengkuhan wajahnya
Terhias anggun senyuman sang Nabi…
Dan yang lebih indah dari orang orang yang ingin menjadi debu ini adalah, doa Imam Ali bin Husein as , cicit Nabi saw, yang bergelar as sajad, orang yang banyak bersujud pd debu
ya Allah,
bila Engkau tempatkan aku di dalam neraka,
maka aku akan bilang kepada penghuninya,
bahwa Aku mencintai Mu….
Mereka yang ingin menjadi debu, akan berserah sempurna pada Nya. Menerima segala kehendak Nya, dan tetap mencintai Nya. Karena pilihanNya adalah pilihan Terbaik. Jadi, benarlah arti islam yang sebenarnya,ia adalah menjadi debu, menjadi berserah sempurna pd Nya.
Dan hanya Allah lah yang Maha Tahu. Allohumma Shalli ala Muhammad wa ali Muhammad.
Sumber : hening.rumahhati@facebook
0 komentar:
Posting Komentar